Beranda | Artikel
Hidup Dalam Terjangan Bencana
Selasa, 3 April 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia siapakah diantara mereka yang terbaik amalnya. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada uswah hasanah dan penutup nabi-nabi, para sahabatnya dan pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Merupakan perkara yang sudah jelas dan gamblang bagi seorang muslim bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang sementara dan penuh dengan cobaan. Terkadang seorang harus merasakan pahitnya musibah dunia yang menuntut hatinya untuk sabar dan ridha dengan takdir Rabbnya. Terkadang seorang harus memaksa dirinya untuk mewujudkan syukur kepada Allah karena sedemikian banyak nikmat yang telah dicurahkan kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka diliputi dengan hal-hal yang disenangi oleh syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jalan menuju surga adalah jalan yang menuntut perjuangan dan pengorbanan. Jalan ke surga mengharuskan seorang muslim tunduk dan patuh kepada aturan dan hukum Allah, walaupun terkadang aturan itu tidak disenangi oleh nafsunya.

Sebab kebahagiaan bukanlah terletak pada kepuasan nafsu dan kelezatan duniawi. Kebahagiaan hanya akan diraih dengan kesetiaan kepada petunjuk Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Berjalan di atas kebenaran acapkali harus menggiring kita untuk tidak mudah terpedaya oleh bujukan nafsu dan kehendak banyak orang. Berjalan di atas hidayah memberikan kita kaidah dan pedoman yang harus selalu kita pelihara. Karena orang yang akan dijaga oleh Allah ialah orang yang mau memelihara ajaran dan syari’at Allah. Sebagaimana orang yang akan diingat oleh Allah adalah orang yang senantiasa mengingat Allah.

Dengan demikian permasalahan hidup ini sebenarnya bukan terletak pada sedikit banyaknya perbendaharaan dunia yang kita miliki. Akan tetapi sejauh mana nikmat yang Allah berikan itu bisa memberikan pengaruh positif kepada perilaku dan ibadah kita kepada Allah. Sebab sebesar apapun kekayaan seorang dan setinggi apapun jabatannya jika tidak bisa menundukkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah dan mendekat kepada-Nya; maka sesungguhnya itu adalah malapetaka besar dalam kehidupannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hazim rahimahullah, “Setiap nikmat yang tidak semakin mendekatkan diri kepada Allah hakikatnya itu adalah bencana.”   

Sebuah bencana besar yang melanda hati jauh lebih merusak dan membahayakan daripada bencana tanah longsor atau gempa bumi. Memperbaiki bangunan yang rusak karena terpaan banjir atau gempa bisa jadi lebih mudah daripada memperbaiki kondisi hati yang telah terracuni dengan kotoran dan perusak hati. Ketika hati sudah dilanda penyakit keragu-raguan dan terbelit oleh fitnah dunia dengan segala perhiasannya, hidayah sulit untuk diserap dan mewarnai. Maka menyelamatkan hati dari perangkap-perangkap setan adalah perjuangan suci yang tidak kenal henti.

Kita hidup di suatu masa dimana malapetaka dianggap sebagai kemajuan dan kesuksesan, sementara kebahagiaan dan kelezatan iman justru dijauhi dan disingkirkan. Inilah masa yang penuh dengan fitnah dan cobaan. Bersabar di atas ketaatan dan istiqomah membela aqidah seolah memegang bara api yang panas. Fitnah-fitnah berjatuhan seperti tetesan hujan dan gelombang lautan yang menerjang tanpa pandang bulu. Maka selayaknya kita berdoa kepada Allah agar dilindungi dari terpaan fitnah yang tampak dan tersembunyi. Jangan sampai Allah tinggalkan kita bersama kekuatan kita sendiri tanpa bantuan dan pertolongan dari-Nya walaupun hanya sekejap mata.

Sandarkanlah hatimu kepada-Nya, jauhi segala hal yang mengundang murka-Nya, semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk beriman dan beramal salih hingga ajal tiba.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/hidup-dalam-terjangan-bencana/